Sunday, April 21, 2019

RESENSI BUKU KONVERGENSI MEDIA

Judul       : Konvergensi Media 

Penulis   : Dudi Iskandar 

Tebal       : 333 Halaman 

Penerbit  : Penerbit Andi 

Tahun      : 2018 

Nama       : Karinia Sumitha Hassan 


NIM         : 1871511752





KONVERGENSI MEDIA

Media massa mengalami beberapa tahap perubahan, transformasi, dan bahkan metamorfosis. Roger Fidler menyebutkan fase berbagai perkembangan media dengan nama mediamorfosis. Dalam pandangan Fidler, mediamorfosis memiliki tiga konsep, yaitu : koevolusi, konvergensi, dan kompleksitas. Ia mendefinisikan mediamorfosis sebagai tranformasi media komunikasi yang biasanya ditimbulkan akibat hubungan timbal balik yang rumit antara berbagai kebutuhan yang dirasakan, tekanan persaingan politik, serta berbagai inovasi sosial dan teknologi.
Jika sebelumnya setiap jenis media massa berdiri sendiri atau memiliki organisasi dan manajemen mandiri, kini mereka bergabung dalam satu kesatuan yang dikenal dengan konvergensi, makanya tidak heran bila sekarang hampir semua media cetak dan elektronik menyertainya dengan bentuk berita online, e-paper & live streaming.
Konvergensi juga merupakan aplikasi dari teknologi digital, yaitu integrasi teks, suara, angka dan gambar; bagaimana berita diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi. Dailey, Demo, dan spillman menjelaskan aktivitas konvergensi media meliputi antara lain cross-promotion (lintas promoasi), cloning (pengggandaan), coopetition (kolaborasi), content sharing (berbagai isi), dan full convergence (penyatuaan). Dengan konvergensi media, berita yang dahulu disebut mengabarkan peristiwa yang sudah terjadi, kini definis tersebut berubah menjadi peristiwa yang sedang terjadi. Bahkan jika kita menggunakan paradigma jurnalisme interpretatif, berita bisa juga peristiwa akan terjadi.
Kolongmerasi media kian hegemonik dan momentumnya seiring dengan ideologi kapitalisme masuk ke duai jurnalisme. Menurut Yasraf Aming Piliang, ada empat unsur utama kapitalisme global, yakni: waktu, ruang, uang, dan kecepatan. Percepatan dan kecepatan ini sudah merusak dan merasuk ke semua aspek kehidupan manusia, termasuk jurnalisme. Kecepatan dan percepatan menyeret jurnalisme ke dalam pusaran kompetisi global.
Salah satu akibat kolongmerasi adalah keseragaman siaran, tayangan, dan tulisan di tiga perusahaan media yang sedang diteliti. Keseragaman ini pulalah yang merampas hak publik untuk mendapatkan informasi yang beragam. Media massa yang seharusnya menjadi ruang publik berubah menjadi milik sekelompok orang.







MEDIA SEBAGAI IDEOLOGI DAN AKTOR POLITIK


Dalam teori wacana Michel Foucault, ada beberapa istilah kunci. Selain wacana, ada juga istilah epistime, kuasa, pengetahuan, akreologi, dan genealogi. Dalam wacana Foucault, istilah-istilah tersebut kerap bekelidan, saling silang, dan berebut muncul ke permukaan.
Wacana merupakan kumpulan pernyataan yang dihasilkan dari relasi kekuasaan dan pengetahuan melalui mekanisme yang bersifat plural, produktif dan menyebar serta dikontruksi dengan cara stimulasi. Wacana dalam satu rentang waktu tertentu, akan menghasilkan epitisme baru. Dalam konteks ini memungkinkan munculnya pengetahuan dan teori baru. Epistemologi yang berkenaan dengan praktik wacana dan aturan main yang berada dibaliknya adalah yang dikenal dengan arkeologi pengetahuan. Sementara itu, genealogi menjadi model analisis yang melihat relasi antara pengetahuan dan kekuasaan dalam satu bingkai wacana dalam satu situasi dan kondisi tertentu.
  • ·         Etika jurnalistik

Secara filosofi, jurnalisme harus tetap berpijak pada prinsip kebenaranm indenpendensi, check and balance, cover all (multi) sides, verifikasi fakta dan keberpihakan pada yang lemah. Etika jurnalisme berfungsi untuk menjamin media memproduksi jurnalisme yang berkualitas dan publik pun mendapat informasi yang sehat dan mencerahkan. Inilah yang disampaikan dan pakar jurnalisme Bill Kovach dab Tom Rosentiels. “jurnalism’s first obligation is to the truth”. Meski bersifat debatable dan plural, kebenaran yang diususng teks berita adalah kebenaran milik masyarakat. Inilah yang kemudian menjadikan kepentingan masyarakat. Inilah yang kemudian menjadikan kepentingan masyarakat sebagai elemen jurnalistik kedua. Cara yang paling penting memihak kebenaran adalah loyalitas kepada masyarakat (warga negara) (journalism’s first loyalty is to citizens) dan dengan elemen ketiga, yaitu disiplin dalam memverifikasi fakta (the essence of journalist is a discipline of verification).

  • ·         Post-journalism

Model keberagaman dalam kerja jurnalistik inilah bisa dipotret sebagai cikal bakal fenomena post-journalism. Istilah ini berangkat dan berakar dari post-turt. Kamus Oxford mendefinisikan post-turth sebagai kondisi ketika fakta -dalam jurnalistik- tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Artinya, fakta atau persitiwa dalam sebuah berita hanya sebagai cikal bakal semata, tetapi yang membentuk presepsi dan dan pengaruh ke publik adalah aduka emosi, rasa sentimen, dan keyakinan pribadi. Fakta dan peristiwa dibungkus oleh media dengan sangat ciamiknya sehingga menjadikan lebih indah dari yang sebenarnya. Ia tampak lebih faktual dan fakta yang sebenarnya.
            Karena realitas sudah begitu kompleks, maka apakah betul ini adalah era post-journalism. Inilah era bahwa fakta tidak begitu penting lagi, tetapi yang penting sentimen yang dibangunnya. Dari fakta ke sentimen. Dari objek ke subjektif. Jadi, yang dibutuhkan adalah efek subjektif.